Pagi yang bening. Setetes embun terjatuh dari sebuah daun.
Masih tersisa beberapa tetes lainnya. Sebelum berakhir, sebelum matahari
meninggi dan menguapkan tetes embun lewat panasnya, teramat sayang untuk
dibiarkan. Butiran-butiran embun bagaikan kristal dengan ruang penuh imajinasi
di dalamnya.
Warna kemerahan sudah terlihat di bagian Timur. Tubuh bukit
mulai menampak. Kabut yang perlahan menurun dan menghilang. Awan putih di
langit. Cerah sekali. Pada ruang kosongnya, menembus ke langit biru.
Ini hari Rabu. Entah tanggal berapa. Tapi pastilah hari
ini, ketika janji siap untuk ditepati. Dari goresan tiap kata yang terlahir,
dari awal perkenalan, hingga pada akhirnya kata-kata mengalir, menjadi ruang
penyejuk dalam jiwa. Memainkan imajinasi dan rasa. Kosong dan menyiksa, bila
dalam perjalanan hari, tiada kata tersapa darinya.
Aku merindukanmu dengan segala rupa hari ketika pagi, siang
dan malamnya.
"Kata yang keluar pertmakalai, itu berasal dari"
Sebab sederhana itu meringankan, maka aku ingin mencintaimu
dengan sederhana. Sebab embun itu sederhana, bening, juga menyejukkan maka kita
jadikan cinta kita embun. Sebab kau embun, maka ingin mencintaimu dengan
sederhana.
Hampir setahun tampaknya, he, tapi seperti telah
bertahun-tahun mengenalnya. Pengembaraan jiwanya merasa telah menemukan dermaga
untuk melabuhkan dirinya. Bagaimanakah rupa sang lelaki itu? Benarkah
sosok-sosok yang ditampilkannya lewat foto-foto ataupun lewat webcam? Apakah
kata-katanya patut dipercaya? Ah, ia sisihkan segala keraguan di saat pertemuan
tinggallah menunggu hitungan jam. Ia harus menanamkan kepercayaan. Jangan lagi
muncul keraguan. Torehan kata-kata setiap harinya telah melekat di dalam
kepala, di dalam hati, menjadi kesatuan dalam dirinya.
Perempuan itu membuka rekaman kata-katanya ketika menjawab
kata-kata lelaki itu:
Kukatakan padamu, kelak sinar mentari akan kita nikmati
bersama
sembari kita minum kopi dan saling memeluk bahu
sebab samudra tak cukup luas tuk pisahkan kita
sebab langit kita sama dan angin selalu mempertemukan jiwa
kita kemanapun kita mengembara
Kukatakan padamu, kelak kita akan berdiri bersisian
sembari kita memandang hujan teteskan rintiknya
sebab kau dan aku saling mengukir nama di jiwa-jiwa kita
dan kurasakan sehelai daun jatuh ke bumi di tempatmu saat
kau hembuskan namaku padanya
Ya, lelaki itu. Lelaki yang kelak akan menjadi tumpahan
segala rasa di mana ia akan serahkan jiwanya, termasuk mengarungi perjalanan
hidup yang entah seperti apa wujudnya. Ia merasa telah siap.
* * *
Di belahan bumi yang lain. Di sebrang samudra. Pada saat
yang sama, seorang lelaki muda, masih berada di pembaringannya. Ia menatap
langit-langit. Tetap tak berubah sejak ia menempati kamar ini. Namun
bayangannya menembus langit-langit, membayangkan seorang perempuan muda, yang
baru saja mengirimkan sms kepadanya. ”semoga kau baik-baik disana"
Ia melirik jam weker di samping tempat tidurnya. ”Ah, masih
lima-enam jam lagi,” Kembali matanya menatap ke atas, memandang langit-langit.
Menembusnya kembali melewati lorong waktu untuk menyibak berbagai peristiwa
perbincangan melalui layar monitor. Kata-kata yang mengalir jernih di anak
sungai dengan ketinggian yang tidak pernah melebihi batas sungai. Sosok penuh
senyum yang terlempar ribuan kilometer yang hingga di kamar ini. Atau melalui
sms ke handphonenya.
Berlanjut pesan lewat inbox. Add di jejaring sosial
Facebook. Chatting. YM. Skype. HP. Tak ada alat komunikasi murah yang tidak
tergunakan. Wah, luar biasa teknologi ini. Membuat dunia tanpa batas.
Terbentang sepanjang samudra, gunung, bukit, danau, sungai, hutan. Tak perlu
paspor dan biaya mahal. Tidak lebih dari dari 10,000 yang bisa terpuaskan untuk
berkomunikasi.
Ya, seperti lelaki dan perempuan ini. Tiada hambatan berarti
dalam komunikasi. Kecuali mati listrik. Bisa menjadi seperti neraka. Aarrrrrgggghhh…
Pada
saat itu, ia teringat dengan sebuah puisi yang juga sudah dilantunkan menjadi
lagu yang bisa menyentuh dan memainkan irama hati. "Aku Ingin"
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api
Yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat diucapkan
Awan kepada hujan
Yang menjadikannya tiada
Walau tiada hujan yang turun bulan ini, tapi terasa indah
sekali untuk membaca dan mendengarkan lantunan irama lagunya. Lelaki itu
bangkit, menyalahkan laptopnya, membuka file lagu-lagunya,
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Mei
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan mei
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Mei
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
* * *
Perempuan itu duduk di dekat jendela. Matanya bebas
memandang awan-awan dengan bangunan yang beragam. Ia seakan melihat sebuah
istana awan. Berpakaian putih-putih bagaikan putri dari khayangan, diiringi
para dayang melangkah pelan mengililingi tembok istana. Kolam awan, sesekali
beriak. Iseng ia mengambil segenggam awan, melemparkannya ke udara. Memandang
kemana akan terjatuh. Mengulang. Wajah berseri-seri. Para dayang mengikuti
tingkah sang putri. Mereka melempar awan, melayang-layang dipermainkan angin,
dan jatuh berserakan tidak mengarah ke mana lemparan tertuju. Mereka tampak
tertawa-tawa. Sang putri iseng melempar awan ke tubuh salah satu dayang. Dayang
yang lain mengikuti. Satu sama lain kemudian saling melempar awan. Tiada peduli
panas yang semakin terik. Atap langit, matahari terbuka. Tapi tetap saja keluar
tawa bahagia.
”Ah” ingat perempuan itu. Sebelum boarding ia menuliskan
kata-kata yang akan diucapkannya nanti kepada sang lelaki.
* *
Lelaki itu teringat, tentang bait-bait menjelang ketetapan.
Sang perempuan melemparkan kesah kepadanya:
Ah, setelah berulang kali kata bersambut, mereka pada
akhirnya tiba pada keyakinan bahwa mereka saling mencinta walau tak pernah
berjumpa, kecuali di dunia maya. Tapi apa lagikah yang bisa dipercaya pada ini
masa? Keyakinan, itulah yang terdalam harus tergenggam. Keduanya merasa sangat
yakin. Keyakinan menjadi kekuatan batin.
Mereka masih saja terdiam. Angin mengeras. Memainkan rambut
perempuan yang lepas dari ikatan. Terlempar ke depan, menutupi wajah. Sang
lelaki menyingkapnya. Pandangan mata beradu. Tak ingin mengelak. Perlahan
terpejam bersamaan dengan wajah yang saling mendekat.
Angin makin kencang menjelma badai. Hujanpun turun dengan derasnya. Tergesa mereka berlari, mencari tempat untuk
berteduh entah di mana. Perempuan tiba-tiba terpeleset, jatuh ke bibir jurang.
Beruntung cepat tertangkap sang lelaki. Hujan menderas. Jalan licin. Sang lelaki
merasa turut terjatuh. Rupanya ia bermimpi.
* * *
Ya, perempuan itu telah menunggu. Sejak tadi ia duduk di
kursi di deretan terdepan. Memandang bus-bus yang berhenti dan bergerak lagi.
Memandang mobil-mobil yang tiada henti berlalu. Ia keluarkan Hp-nya. Tak ada
tanda pesan diterima. “Ingkar janjikah ia?”
Ia membuka hp, membuka kembali torehan kata-kata yang
dibuatnya semalam menjelang tidur. Kata-kata yang telah ia kirimkan pada
lelakinya. Entah mengapa, kata-kata itu meluncur begitu saja. Membuatnya
terkejut ketika mengulang membaca. Tapi ia tak ingin menghapusnya.
Seandainya saja saat ini atau esok hari sang maut
menjemputku, kukira aku tetap akan menyongsongnya dengan senyum mengembang di
kedua sudut bibirku. Setidaknya, karena aku telah menemukanmu….
Ah…..
* * *
Berulang kali sang lelaki memaki dirinya sendiri. Setengah
perjalanan baru tersadar ia tidak membawa hp-nya. Ia tak bisa mengabarkan
kepada sang perempuan yang tentunya telah resah menunggu. Ia memacu
kendaraannya dengan cepat. Kecepatan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
Seperti orang kesetanan.
Melaju cepat, walaupun sudah tidak berada di jalan tol lagi.
Orang-orang memaki sekaligus menganggapnya sebagai orang gila yang bodoh. Ia
telah memasuki terminal bandara, ia lihat jam, sudah satu jam keterlambatannya.
Ketika ia melihat ke depan, ia terkejut ketika ada sesosok yang terlihat ragu
untuk menyeberang jalan. Ia berusaha mengerem sekuatnya. Tapi terlambat. Sosok
itu telah terhantam kendaraannya.
Wajahnya memucat, orang-orang telah berkerumun dalam
hitungan detik. Beberapa orang telah menggedor-gedor pintunya. Ia segera
membuka dan bersikap waspada dengan kemungkinan akan di massa.
Seorang perempuan tergeletak dengan hp di tangannya. Sebuah
travel bag terlempar jauh ke tengah.
”Cepat, cepat, cepat….” orang-orang bergegas, lelaki itu
turut terdorong. Ia segera meraih bagian tubuh atas perempuan itu. Mengambil HP
yang masih ada dalam genggamannya.
Terlihat kata-kata yang dirasa tidak asing cara
penuturannya:
Seandainya saja saat ini atau esok hari sang maut
menjemputku, kukira aku tetap akan menyongsongnya dengan senyum mengembang di
kedua sudut bibirku. Setidaknya, karena aku telah menemukanmu….
Mata lelaki itu berkunang-kunang. Untuk selanjutnya ia tidak
bisa mengingat apa-apa lagi.
Rupanya cinta sederhana bak embun mereka berakhir juga.
Seperti embun yang menghilang ketika direnggutkan oleh terik matahari yang
meningggi. Sayang, berakhir dengan cara tragis seperti ini. Siapakah yang bisa
menolaknya datangnya sukacita ataupun duka. Tak ada. Tak sesiapa. Tidak juga
kau, dia atau mereka..
My Inspiration
"Embun_Rindu"