Selasa, 08 Mei 2012

Karena Engkau aDalah Embun




Pagi yang bening. Setetes embun terjatuh dari sebuah daun. Masih tersisa beberapa tetes lainnya. Sebelum berakhir, sebelum matahari meninggi dan menguapkan tetes embun lewat panasnya, teramat sayang untuk dibiarkan. Butiran-butiran embun bagaikan kristal dengan ruang penuh imajinasi di dalamnya.


Warna kemerahan sudah terlihat di bagian Timur. Tubuh bukit mulai menampak. Kabut yang perlahan menurun dan menghilang. Awan putih di langit. Cerah sekali. Pada ruang kosongnya, menembus ke langit biru.


Ini hari Rabu. Entah tanggal berapa. Tapi pastilah hari ini, ketika janji siap untuk ditepati. Dari goresan tiap kata yang terlahir, dari awal perkenalan, hingga pada akhirnya kata-kata mengalir, menjadi ruang penyejuk dalam jiwa. Memainkan imajinasi dan rasa. Kosong dan menyiksa, bila dalam perjalanan hari, tiada kata tersapa darinya.


Aku merindukanmu dengan segala rupa hari ketika pagi, siang dan malamnya.


"Kata yang keluar pertmakalai, itu berasal dari"

Sebab sederhana itu meringankan, maka aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Sebab embun itu sederhana, bening, juga menyejukkan maka kita jadikan cinta kita embun. Sebab kau embun, maka ingin mencintaimu dengan sederhana.




Hampir setahun tampaknya, he, tapi seperti telah bertahun-tahun mengenalnya. Pengembaraan jiwanya merasa telah menemukan dermaga untuk melabuhkan dirinya. Bagaimanakah rupa sang lelaki itu? Benarkah sosok-sosok yang ditampilkannya lewat foto-foto ataupun lewat webcam? Apakah kata-katanya patut dipercaya? Ah, ia sisihkan segala keraguan di saat pertemuan tinggallah menunggu hitungan jam. Ia harus menanamkan kepercayaan. Jangan lagi muncul keraguan. Torehan kata-kata setiap harinya telah melekat di dalam kepala, di dalam hati, menjadi kesatuan dalam dirinya.


Perempuan itu membuka rekaman kata-katanya ketika menjawab kata-kata lelaki itu:


Kukatakan padamu, kelak sinar mentari akan kita nikmati bersama

sembari kita minum kopi dan saling memeluk bahu

sebab samudra tak cukup luas tuk pisahkan kita

sebab langit kita sama dan angin selalu mempertemukan jiwa kita kemanapun kita mengembara


Kukatakan padamu, kelak kita akan berdiri bersisian

sembari kita memandang hujan teteskan rintiknya

sebab kau dan aku saling mengukir nama di jiwa-jiwa kita

dan kurasakan sehelai daun jatuh ke bumi di tempatmu saat kau hembuskan namaku padanya


Ya, lelaki itu. Lelaki yang kelak akan menjadi tumpahan segala rasa di mana ia akan serahkan jiwanya, termasuk mengarungi perjalanan hidup yang entah seperti apa wujudnya. Ia merasa telah siap.


* * *


Di belahan bumi yang lain. Di sebrang samudra. Pada saat yang sama, seorang lelaki muda, masih berada di pembaringannya. Ia menatap langit-langit. Tetap tak berubah sejak ia menempati kamar ini. Namun bayangannya menembus langit-langit, membayangkan seorang perempuan muda, yang baru saja mengirimkan sms kepadanya. ”semoga kau baik-baik disana"


Ia melirik jam weker di samping tempat tidurnya. ”Ah, masih lima-enam jam lagi,” Kembali matanya menatap ke atas, memandang langit-langit. Menembusnya kembali melewati lorong waktu untuk menyibak berbagai peristiwa perbincangan melalui layar monitor. Kata-kata yang mengalir jernih di anak sungai dengan ketinggian yang tidak pernah melebihi batas sungai. Sosok penuh senyum yang terlempar ribuan kilometer yang hingga di kamar ini. Atau melalui sms ke handphonenya.



Berlanjut pesan lewat inbox. Add di jejaring sosial Facebook. Chatting. YM. Skype. HP. Tak ada alat komunikasi murah yang tidak tergunakan. Wah, luar biasa teknologi ini. Membuat dunia tanpa batas. Terbentang sepanjang samudra, gunung, bukit, danau, sungai, hutan. Tak perlu paspor dan biaya mahal. Tidak lebih dari dari 10,000 yang bisa terpuaskan untuk berkomunikasi.



Ya, seperti lelaki dan perempuan ini. Tiada hambatan berarti dalam komunikasi. Kecuali mati listrik. Bisa menjadi seperti neraka. Aarrrrrgggghhh…

 Pada saat itu, ia teringat dengan sebuah puisi yang juga sudah dilantunkan menjadi lagu yang bisa menyentuh dan memainkan irama hati. "Aku Ingin"


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api




Yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat diucapkan

Awan kepada hujan

Yang menjadikannya tiada




Walau tiada hujan yang turun bulan ini, tapi terasa indah sekali untuk membaca dan mendengarkan lantunan irama lagunya. Lelaki itu bangkit, menyalahkan laptopnya, membuka file lagu-lagunya, 

tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Mei

dirahasiakannya rintik rindunya




kepada pohon berbunga itu



tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan mei

dihapusnya jejak-jejak kakinya




yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Mei

dibiarkannya yang tak terucapkan




diserap akar pohon bunga itu

* * *



Perempuan itu duduk di dekat jendela. Matanya bebas memandang awan-awan dengan bangunan yang beragam. Ia seakan melihat sebuah istana awan. Berpakaian putih-putih bagaikan putri dari khayangan, diiringi para dayang melangkah pelan mengililingi tembok istana. Kolam awan, sesekali beriak. Iseng ia mengambil segenggam awan, melemparkannya ke udara. Memandang kemana akan terjatuh. Mengulang. Wajah berseri-seri. Para dayang mengikuti tingkah sang putri. Mereka melempar awan, melayang-layang dipermainkan angin, dan jatuh berserakan tidak mengarah ke mana lemparan tertuju. Mereka tampak tertawa-tawa. Sang putri iseng melempar awan ke tubuh salah satu dayang. Dayang yang lain mengikuti. Satu sama lain kemudian saling melempar awan. Tiada peduli panas yang semakin terik. Atap langit, matahari terbuka. Tapi tetap saja keluar tawa bahagia.


”Ah” ingat perempuan itu. Sebelum boarding ia menuliskan kata-kata yang akan diucapkannya nanti kepada sang lelaki.


* * 

Lelaki itu teringat, tentang bait-bait menjelang ketetapan. Sang perempuan melemparkan kesah kepadanya:


Ah, setelah berulang kali kata bersambut, mereka pada akhirnya tiba pada keyakinan bahwa mereka saling mencinta walau tak pernah berjumpa, kecuali di dunia maya. Tapi apa lagikah yang bisa dipercaya pada ini masa? Keyakinan, itulah yang terdalam harus tergenggam. Keduanya merasa sangat yakin. Keyakinan menjadi kekuatan batin.


Mereka masih saja terdiam. Angin mengeras. Memainkan rambut perempuan yang lepas dari ikatan. Terlempar ke depan, menutupi wajah. Sang lelaki menyingkapnya. Pandangan mata beradu. Tak ingin mengelak. Perlahan terpejam bersamaan dengan wajah yang saling mendekat.


Angin makin kencang menjelma badai.  Hujanpun turun dengan derasnya. Tergesa mereka berlari, mencari tempat untuk berteduh entah di mana. Perempuan tiba-tiba terpeleset, jatuh ke bibir jurang. Beruntung cepat tertangkap sang lelaki. Hujan menderas. Jalan licin. Sang lelaki merasa turut terjatuh. Rupanya ia bermimpi.

* * *


Ya, perempuan itu telah menunggu. Sejak tadi ia duduk di kursi di deretan terdepan. Memandang bus-bus yang berhenti dan bergerak lagi. Memandang mobil-mobil yang tiada henti berlalu. Ia keluarkan Hp-nya. Tak ada tanda pesan diterima. “Ingkar janjikah ia?”


Ia membuka hp, membuka kembali torehan kata-kata yang dibuatnya semalam menjelang tidur. Kata-kata yang telah ia kirimkan pada lelakinya. Entah mengapa, kata-kata itu meluncur begitu saja. Membuatnya terkejut ketika mengulang membaca. Tapi ia tak ingin menghapusnya.

Seandainya saja saat ini atau esok hari sang maut menjemputku, kukira aku tetap akan menyongsongnya dengan senyum mengembang di kedua sudut bibirku. Setidaknya, karena aku telah menemukanmu….



Ah…..



* * *


Berulang kali sang lelaki memaki dirinya sendiri. Setengah perjalanan baru tersadar ia tidak membawa hp-nya. Ia tak bisa mengabarkan kepada sang perempuan yang tentunya telah resah menunggu. Ia memacu kendaraannya dengan cepat. Kecepatan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Seperti orang kesetanan.


Melaju cepat, walaupun sudah tidak berada di jalan tol lagi. Orang-orang memaki sekaligus menganggapnya sebagai orang gila yang bodoh. Ia telah memasuki terminal bandara, ia lihat jam, sudah satu jam keterlambatannya. Ketika ia melihat ke depan, ia terkejut ketika ada sesosok yang terlihat ragu untuk menyeberang jalan. Ia berusaha mengerem sekuatnya. Tapi terlambat. Sosok itu telah terhantam kendaraannya.


Wajahnya memucat, orang-orang telah berkerumun dalam hitungan detik. Beberapa orang telah menggedor-gedor pintunya. Ia segera membuka dan bersikap waspada dengan kemungkinan akan di massa.


Seorang perempuan tergeletak dengan hp di tangannya. Sebuah travel bag terlempar jauh ke tengah.


”Cepat, cepat, cepat….” orang-orang bergegas, lelaki itu turut terdorong. Ia segera meraih bagian tubuh atas perempuan itu. Mengambil HP yang masih ada dalam genggamannya.


Terlihat kata-kata yang dirasa tidak asing cara penuturannya:


Seandainya saja saat ini atau esok hari sang maut menjemputku, kukira aku tetap akan menyongsongnya dengan senyum mengembang di kedua sudut bibirku. Setidaknya, karena aku telah menemukanmu….



Mata lelaki itu berkunang-kunang. Untuk selanjutnya ia tidak bisa mengingat apa-apa lagi.


Rupanya cinta sederhana bak embun mereka berakhir juga. Seperti embun yang menghilang ketika direnggutkan oleh terik matahari yang meningggi. Sayang, berakhir dengan cara tragis seperti ini. Siapakah yang bisa menolaknya datangnya sukacita ataupun duka. Tak ada. Tak sesiapa. Tidak juga kau, dia atau mereka..





My Inspiration 
"Embun_Rindu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar