Aku
berusaha mencari rasa di kertas itu, yang sayangnya tak berwarna merah jambu.
Mencernanya baik – baik dikepalaku. Mencoba meraba, apa yang kau ingin aku
tahu. Dengan keterbatasan otakku. Aku
membacanya sampai di bilangan berpuluh.
Saat
aku mencerna ini :
Pada
kata hati yang menjadi puisi, aku menunggumu
Tiada
henti menulis waktu hingga kau mengenaliku
Melukis
sepi, merangkai rindu
Tak
henti memaknai jarak pada bentang yang bisu
Ahh,..
Kau sungguh pria yang pandai
membahasakan hati. Setiap katamu merasuk dalam di sanubari. Melambungkan
anganku di langit tertinggi. Membaca yang kau sebut penantian itu, seperti
meneguk secangkir madu. Tapi aku ragu pada kata sepi dan rindu. Apakah kau
yakin dengan ucapan itu. Atau hanya terbawa perasaan, yang….. entah apa itu ???
Sepertinya kita memang harus menunggu, karena perasaan mungkin saja menipu.
Jarak
yang membentang sejauh hatiku-hatimu
Meski
sesekali puisi lahir diantaranya
Jarak
yang membentang pada barat-timur lanskapmu
Meski
langit yang kita pandang masih sama birunya
Sayang
sekali. Di hati, puisi telah aku kubur mati. tertutup rapat diantara serakan
daun keladi. Karena selama ini, puisi selalu gagal mewakili hati. Hingga
teronggok seperti mantera yang tak berarti. Aku ingin mengatakan, apa yang
ingin kukatakan. Secara langsung tanpa perandaian. Karena aku hidup diantara
orang – orang yang tak mudah faham. Tapi kau membuatku belajar lagi, untuk
mengerti dan memahami maksud dari kalimat ini :
Aku
arah barat daya pada kompasmu
Dan
kau arah timur laut dalam hatiku
Walau
namaku tak tercatat pada jauh perjalanan
Biarkan
sekali saja jarum kompas itu diam
Menunjuk
arah berkelipnya sebentuk perasaan
Sungguh
aku ingin menjadi apa yang kau katakan. Dan aku ingin kau menjadi apa yang kau
inginkan. Aku menjadi penunjuk arahmu. Dan kau ikut kearah yang kutuju. Lalu
namaku dan namamu tercatat bersama dalam setiap lembar waktu. Tapi aku ragu.
Karena langitmu, langitku, yang tak selamanya biru.
My Inspiration
"Embun_Rindu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar